Ada apa dengan undang-undang penodaan agama?
apa yang dijadikan alat ukur untuk menentukan efektifnya penegakan hukum?
Apa mungkin di Indonesia ini tidak akan terjadi lagi perbuatan yang bernilai pada
perbuatan penodaan agama?
Berbagai polemik muncul dalam pemikiran masyarakat ketika membicarakan
mengenai sejauh mana efektifitas hukum penodaan agama dalam menciptakan
ketertiban umum. Hal ini dapat dilihat dari segi struktur hukum, lembaga
penegakkan hukum, budaya hukum dan faktor-faktor hukum lainnya. Sejauh ini
efektifitas UU PNPS sudah cukup efektif namun perlu adanya pembatasan tertentu.
Jika melihat Pasal 156 KUHP atau biasanya dalam dakwaan JPU dialternatifkan
dengan Pasal 33 UU ITE mengenai perbuatan tidak menyenangkan, tentu sudah
pasti Hakim menetapkan Pasal 156 A KUHP karena secara eksplisit bunyi pasal
tersebut mengatur mengenai penodaaan agama. Seperti contoh putusan penodaan
agama di daerah Klaten bahwa JPU mendakwakan Pasal 45 ayat (2) UU ITE akan
tetapi, Hakim memutuskan dalam amar putusannya Pasal 156 a KUHP. Jika dilihat
secara yuridis, seharusnya keberadaan UU PNPS ini bersifat lex specialis
dibandingkan dengan KUHP. Akan tetapi biasanya hakim justru memiliki
pertimbangan yang berbeda, yaitu karena Pasal 156 KUHP terkait penodaan
agama sehingga mengesampingkan bunyi pasal lain, sedangkan dalam pengaturan
UU ITE lebih terkait mengenai SARA yang mana lebih luas definisinya dibandingkan
dengan Pasal 156 a KUHP, maka umumnya para hakim selalu menetapkan ke
Pasal 156 a KUHP mengenai penodaan agama dengan alasan karena lebih mudah
untuk dibuktikan unsur pasalnya dalam persidangan.
Keberadaan UU PNPS perlu untuk semakin dipersempit lagi agar masyarakat tidak
saling mencela berbagai keyakinan satu sama lainnya. Pentingnya UU PNPS ini
diberlakukan untuk menjaga keharmonisan dan ketertiban umum masyarakat
karena secara ideologis dan yuridis tidak bertentangan dengan nilai Pancasila.
Perbuatan penodaan agama di Indonesia dimungkinkan tidak terjadi lagi apabila
terdapat kesadaran toleransi antar umat beragama, hak kebebasan berkeyakinan
dan berekspresi tetap dikedepankan tanpa mengandung unsur SARA serta
perlunya kerja sama dengan para penegak hukum yang memberikan ketentua
Perbuatan penodaan agama di Indonesia dimungkinkan tidak terjadi lagi apabila
terdapat kesadaran toleransi antar umat beragama, hak kebebasan berkeyakinan
dan berekspresi tetap dikedepankan dengan tidak menyinggung unsur SARA serta
perlunya kerja sama dengan para penegak hukum yang memberikan ketentuan
lebih khusus mengenai pengaturan perbuatan penodaan agama di Indonesia. Para
penegak hukum dalam menyelesaikan masalah penodaan agama di dalam lingkup
peradilan yakni dengan menggunakan pasal-pasal yang mudah untuk diterapkan
seperti Pasal 156 KUHP serta melihat dari segi kemudahan dalam pembuktian
unsurnya. Pada umumnya, alat bukti yang dibawa oleh JPU yaitu berupa Fatwa
MUI (pembuktian surat). Dalam hal ini, terdapat hal-hal yang menjadi
pertimbangkan hakim dalam menentukan suatu kasus termasuk ke dalam
penodaan agama yakni, selain melihat fakta Fatwa MUI (sesat atau tidak), tetapi
hakim juga akan melihat dari segi dampak perbuatannya mengganggu ketertiban
umum atau tidak dan hakim mempertimbagkan unsur ^dengan sengaja nya^ dalam
konteks sengaja dengan maksud atau willens en wettens yaitu kehendak dan juga
pengetahuan pelaku. Kemudian, mempertimbangkan pula dalam hal apakah si
pelaku memberikan permintaan maaf atau tidak, mempertimbangkan dari riwayat
pelaku sudah berapa lama melakukan perbuatan yang mengarah ke penodaan
agama serta intensitas waktunya seberapa lama dalam melakukan perbuatan yang
menodai agama. Oleh karenanya, peran pemerintah sangat diperlukan untuk
memberikan suatu pembinaan terhadap masyarakat yang beragam agama dan
keyakinannya demi menjaga kerukunan dan terciptanya ketertiban antar umat
beragama.